Obat-obatan
VIVAnews - Saat ini, teknologi kesehatan yang dimanfaatkan di Indonesia hampir separuhnya berkategori rendah. Pakar Farmakologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa pemanfaatan teknologi tinggi kesehatan baru sekitar dua persen di antara 90 persen teknologi kedokteran dan kesehatan di Indonesia yang masih harus impor.
“Pemanfaatan high technology bidang kesehatan sekitar dua persen. Sementara itu, 42 persen teknologi rendah dan sisanya teknologi tingkat menengah,” kata Pakar Farmakologi UGM, Iwan Dwi Prahasto, dalam Forum Riset Industri Indonesia di Auditorium Pasca Sarjana UGM, Jakarta, Kamis 1 Desember 2011.
Ia juga menyebutkan bahwa saat ini ada 180 ribu penelitian kesehatan. Namun, sekitar 98 persen dari penelitian tersebut termasuk riset sumbu pendek, tidak komprehensif dan berkelanjutan. Bahkan, terdapat penelitian yang sama dilakukan oleh peneliti dari perguruan tinggi yang berbeda.
Kalaupun terdapat riset yang bagus, tetapi tidak terjembatani karena keterbatasan dana dari perguruan tinggi. Untuk itu, Iwan memandang pemerintah perlu meningkatkan anggaran untuk kalangan perguruan tinggi guna melakukan riset bahan baku obat dan teknologi kesehatan.
Menurut Iwan, sumber daya manusia di Indonesia mampu mengembangkan teknologi kedokteran seperti yang dilakukan oleh negara maju. “Riset teknologi kesehatan minimal tiga tahun, tidak butuh waktu lama,” katanya.
Menanggapi soal dana riset, Staf Ahli Menkes Soewarta Kosen mengatakan pemerintah akan terus meningkatkan anggaran di bidang kesehatan dengan mengalokasikan dana sekitar lima persen dari APBN atau Rp70 triliun dan 10 persen dari dana APBD di daerah.
Ia mengusulkan kalangan perguruan tinggi juga memanfaatkan bantuan dana dari internasional. “Dari APEC ada tawaran besar grant untuk riset,” katanya.
Sementara itu, kalangan industri juga perlu dukungan riset perguruan tinggi mengingat industri sudah mengeluarkan biaya besar. Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk bunga pinjaman perbankan dan beban biaya logistik dalam distribusi produk.
“Dari segi financing, jika Malaysia dan Filipina bunga enam persen sampai 10 persen. Kalau di tempat kita sampai 14 persen. Di industri, ada beban biaya sekitar 16 persen untuk logistik dalam distribusi produk. Kalau negara tetangga Malaysia hanya lima persen,” kata Wakil Ketua Kadin, Bambang Sujagad. (art)
• VIVAnews
No comments:
Post a Comment