Friday, September 24, 2010

kick andy & febri show :D

DEMI PRESTASI SANG BUAH HATI



Bagi sebagian orang, profesi atlet mungkin bukan lagi sebuah pilihan, tapi sejumlah orang tua yang hadir di Kick Andy kali ini telah mengorbankan banyak hal agar sang anak bisa mewujudkan cita-cita menjadi atlet dan prestasinya mendunia.

Pasangan Kiswadi dan Hariyani yang mantan atlet balap motor tingkat local asal Yogyakarta misalnya. Hobi mereka main di sirkuit, secara langsung telah menurun pada putranya, Doni Tata Pradita. Maklum, Pasangan itu sering bermain di sirkuit sambil mengasuh putranya itu. Alhasil umur 9 tahun, Doni sudah merengek minta ikut balapan. “Pertama kali saya balap memakai baju bekas ibu saya,” kenang Doni.

Upaya keras dilakukan pasangan ini agar bisa mewujudkan cita-cita anaknya menjadi pembalap. Usaha bengkel kecil-kecilan kadang tak cukup untuk memodali sebuah event. “Kadang kami harus menggadaikan beberapa barang di rumah, agar Doni bisa ikut lomba,” kata Kiswandi saat tampil di Kick Andy.

Perjuangan tertatih-tatih telah member buah yang manis. Kini Doni sudah menorehkan berbagai prestasi, mulai tingkat daerah,hingga internasional. Prestasi dunianya dimulai dengan gelar pembalap pertama dari Indonesia pada kelas 250 CC, di Grand Prix kejuaraan dunia, tahun 2008 lalu, saat ia berusia 17 tahun.

Keinginannya menjadi juara dunia, terus diasah, melalui latihan fisik dengan motocross. Tahun ini, ada 2 seri kejuaraan tersisa, yakni di China, Oktober mendatang dan di pengujung tahun 2010, Doni akan berlaga lagi di Qatar, pada ajang Asia Super Sport.

Dari Bekasi, ada kisah tentang Irene Kharisma ZSukandar, seorang Grand Master Wanita Internasional, yang lahir dari keluarga pasangan Singgih Yehezkiel dan Cici Ratna Mulya. Pasangan ini rela menjual rumahnya untuk bisa membiayai pelatihan catur anaknya. “Saya sudah tawarkan dan ajak anak saya dalam beberapa kegiatan ektrakurikuler, tapi yang dipilih malah catur,” ujar Singgih.

Prestasi pertama Irene dimulai pada usia 9 tahun, dengan mengikuti kejuaraan nasional dan meraih gelar Master Percasi Wanita, sejak itu berbagai prestasi mulai ditorehkannya. Hingga pada tahun 2008, Irene berhasil meraih Grand Master Wanita Internasional, saat usianya masih 16 tahun.

Demi mendukung prestasi anaknya dalam olahraga catur, Singgih dan isterinya memang tak tanggung-tanggung mendukung baik dalam hal moriil dan material.

Misalnya mereka rela makan seadanya dan mengalah pada menu makanan anaknya yang harus selalu mengandung protein.

Di sisi lain, Singgih yang juga mantan atlet provinsi tenis meja ini, kerapkali menerapkan disiplin tinggi bagi putrinya Irene. Bahkan hingga kini jika Irene kalah bertanding, maka ia harus menerima hukuman berlari keliling lapangan di Gelora Bung Karno Senayan.

Memiliki anak dengan keterbatasan? Mungkin bisa belajar pada orang tua atlet Judo, Krishna Bayu. Ia lahir dari keluarga atlet, lima dari sepuluh saudaranya atlet judo dan ayahnya yang juga pelatih judo, Amin Prambudi. Di Kick Andy, Amin menceritakan bagaimana pengalamannya mengatur pola makan dan latihan bagi anak-anaknya, termasuk bagi Bayu yang memiliki riwayat penyakit epilepsi.

Dalam kondisi demikian, Bayu sudah menorehkan prestasi baik di tingkat nasional dan tingkat internasional. “Saya ingin menunjukkan bahwa kekurangan itu bisa menjadi kekuatan,” ujar Khrisna yang mendapat pelatihan khusus dari sang ayah sejak usia dini.

Bagi Khrisna, tugas seorang atlet di event internasional adalah mengibarkan sang Merah Putih. Sebagai anak bangsa, Ia mewujudkan tanggung jawabnya itu, meski sejak 13 tahun lalu cedera lutut, dan mengalami betis yang sobek pada Sea Games 2009 di Laos. “Saya gak akan setengah-setengah meski kaki saya robek otot saya tapi ga kan mundur, saya tidak akan menyerah,” tegasnya. Alhasil, dalam kondisi demikian, Khrisna bisa merebut medali emas dan mengibarkan bendera Merah Putih.

Semangat yang membara juga dimiliki oleh Victoria Chandra Tjiong, gadis asal bali yang memiliki prestasi cemerlang di dunia olahraga golf. Gadis berusia 13 tahun ini mampu menembus peringkat ke-7 dunia dalam ranking pegolf internasional di kelompok umurnya. Prestasi hebat ini ia peroleh pada juli 2010 lalu, dalam turnamen optimis junior world champion di Florida, Amerika Serikat.

Perkenalan victoria dengan stick golf, dimulai ketika duduk di bangku kelas IV SD, dimana ia sering mengikuti ayahnya Rudi Chandra yang punya hobi bermain golf. Meski sang ayah cuma pegolf amatir, tapi Rudi da istrinya dengan serius mendukung keinginan anaknya untuk menjadi seorang pegolf professional.

Prestasi Vicky tak hanya pada kelompok umur 13, dalam Indonesia Ladies Open 2008 lalu, Vicky berhasil menyabet Overall Best Nett, sementara di tingkat internasional, dia meraih Best Net II dalam Filipina Ladies Open tahun 2009.

Dari Dunia bulu tangkis, ada kisah seorang single parent yang berjuang untuk meng-atletkan dua putranya. Adalah Halimah, yang biasa dipanggil Awan, seorang perempuan single parent yang harus hijrah dari Palembang ke Jakarta, setelah perceraian dengan sang suami.

Halimah kemudian memutuskan untuk membuka usaha sendiri dengan berjualan pempek khas palembang, sementara dua anaknya Frans Kurniawan dan Fernando Kurniawan kemudian dititipkan di rumah sang nenek.

Ketertarikannya pada olahraga ini dimulai saat ia menonton acara olahraga bulu tangkis di televisi. Berawal dari ketertarikan dan didukung dengan upaya keras sang ibu mencari biaya awal sebagai atlet. ”Padahal masa itu nyari uang Rp 150 ribu untuk pendaftaran ikut club saja susah sekali,” kata Halimah.

Kisah susah sudah berubah, karena kini Frans dan Fernando bisa meraih prestasi demi prestasi di bidang bulu tangkis, baik di tingkat nasional maupun dunia. Keberhasilan keluarga ini sudah memperlihatkan pada kita, bahwa dengan perjuangan dan kasih sayang, seorang ibu single parent pun, bisa mencetak kedua anaknya menjadi atlit bulutangkis yang mengharumkan bangsa.

Tak jauh dari kisah itu, di dunia badminton ada juga Cerita Febby Angguni, yang sejak kecil punya ketertarikan pada olahraga ini. “Selagi kecil, suka merengek-rengek atau nangis kalo minta raket gak kami kasih,” kenang Merry Martini, sang Ibu.

Melihat bakat anaknya, Sang Ayah, Tony Karel, kemudian mencoba mendaftarkan Feby di beberapa club bulutangkis. Maka gadis kecil itu pun harus sudah sering pisah bersama orang tua sejak usia kelas IV Sekolah Dasar, demi cita-ciatnya menjadi seorang atlet. Prestasi Febby angguni terus menanjak, sejak berkiprah di PB Djarum, baik di kejuraaan nasional dan internasional.

Inilah kisah-kisah inspiratif di suasana hari olahraga, tentang perjuangan orang tua dan anak dalam mewujudkan cita-cita dan prestasi, tanpa harus saling paksa. Selamat menyaksikan :)

No comments:

Post a Comment