Saturday, October 30, 2010

RESENSI BUKU

Menuju Kritik Sastra yang Bermartabat



Judul: Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga rampai Telaah sastra DKJ
Penulis:Bramantio, dkk
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: Januari 2010
Halaman: 528 halaman

Perdebatan mengenai kritik sastra tampaknya tidak lagi berkutat seputar validitas metodologi, kemutlakan kaidah sebuah kajian, ataupun jenis pendekatan kritik yang dilakukan, melainkan telah bergeser ke persoalan penciptaan kritik sastra yang bermartabat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan sastra maupun kritik sastra itu sendiri.

Persoalannya adalah, bagaimana kritik sastra yang bermartabat diciptakan sehingga kritik tersebut benar-benar kreatif sehingga sanggup melakukan sebuah interpretasi maupun usaha eksegesis yang lebih kaya dari sebuah karya sastra? Siapa yang seharusnya melakukan kritik sastra? Kemudian, apakah kritik yang ditulis dapat dikomunikasikan sehingga dapat “berbunyi” dan dapat menyusuri lorong referensi pembaca awam?

Pengajuan pertanyaan-pertanyan inilah yang membuat kritik sastra menjadi sesuatu yang tidak gampang untuk ditulis. Pertama-tama karena seorang penulis kritik harus memiliki kapasitas yang mumpuni, baik dari sisi teori maupun “kelengkapan subyektivitas” lain untuk menganalisa sebuah karya. Kedua, ia harus sanggup mengomunikasikan “temuan” dari sebuah karya kepada pembaca. Apabila pembaca tidak dapat memahami apa yang dicoba disampaikan oleh penulis kritik, maka si kritikus telah gagal melakukan kritik.

Hadirnya buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi, tampaknya ingin menjawab persoalan di atas. Buku yang merupakan antologi tulisan pemenang lomba kritik sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2007 dan 2009 ini terutama dilakukan untuk membasahi “keringnya” kritik sastra di wilayah kesusatraan Indonesia mutakhir.

Lalu seperti apakah kritik sastra yang diharapakan? Apakah kritik sastra seperti yang termuat dalam buku ini adalah model kritik yang diharapkan? Bagiamana kecenderungan kritik sastra yang disampaikan dalam buku ini? Mari kita lihat.

Dari Zaman Citra ke Metafiksi terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah kritik sastra yang diitulis dengan tema Kepengrajinan (craftmanship) dalam Sastra Indonesia Mutakhir, sedangkan pada bagian kedua, kritik sastra ditulis dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad 21.

Pada tema pertama, kritik ditulis dengan melihat atau menelaah epistemologi sastrawan dalam membentuk karyanya, demikian ditulis oleh tim juri dalam pengantar bagian pertama buku ini. Jadi, dalam telaah ini dicoba ditemukan hal paling mendasar dari pembentukan sebuah karya sastra berdasarkan evidensi-evidensi objektif yang dapat ditemukan dalam karya sastra itu sendiri.

Di sini, telaah dimulai dari analisa teks menuju kompleksitas sastrawannya. Teks tidak ditelaah untuk melihat konstruksi ataupun seluk-beluk pemikiran yang seorang sastrawan, namun lebih mendasar lagi yakni craftmanship itu sendiri. Tidak mengherankan apabila telaah yang dilakukan begitu kental dengan “pemecahan teks”, yakni membagi teks menjadi pecahan-pecahan kecil yang kemudian, dan dimaknai untuk kemudian menerjemahkannya sebagai satu kesatuan.

Hal ini tampak pada telaah berjudul Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang Bercerita dan Menulis tentang Dirinya Sendiri yang ditulis oleh Bramantio. Dalam telaah ini Bramantio dengan cermat dan detil menelaah novel Cala Ibi yang ditulis oleh Nukila Amal. Dalam telaahnya, Bramantio bahkan menawarkan cara atau strategi pembacaan novel Cala Ibi agar kerumitan dalam “membaca” simbol di dalamnya dapat lebih mudah dilakukan.
Kritik yang yang menduduki tempat teratas pada sayembara kritik sastra tahun 2009 ini tampak mencoba untuk melepaskan teks sastra dari teks-teks lain di luar karya sastra tersebut, yang dalam istilah Afrizal Malna disebut sebagai “pembersihan”, agar teks tersebut lebih steril sehiingga lebih mudah untuk diidentifikasi.

Dalam hal ini, kritikus menyadari bahwa Cala Ibi adalah novel yang kaya dengan metafora, kerumitan sudut pandang cerita, penokohan, dan tanda-tanda yang sulit dipahami begitu saja oleh pembaca, sehingga tawaran pendekatan yang dilakukan pun memang tidak dapat dilakukan secara biasa.

Beberapa kritik sastra dalam antologi lainnya pun mencoba untuk “memeriksa” teks-teks sastra untuk menelaah kerumitan “relasi” antara dunia seorang sastrawan dengan dunia yang melingkupinya. Sebut saja telaah atas sajak-sajak Afrizal Mana yang ditulis oleh Tia Setiadi. Tia secara jelas dapat memperlihatkan bagaimana “relasi” atau ketegangan antara Afrizal dengan “teks-teks” dunia yang dihadapinya.

Bagian kedua dari buku ini adalah telaah sastra dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Dalam telaah ini diharapkan ada jawaban atas sejumlah pertanyan, seperti adakah kebaruan dalam sastra Indonesia setelah tahun 2000? Apakah konteks kekinian memengaruhi proses penciptaan sastra Indonesia mutakhir? (hal.299).

Dalam telaah yang dilakukan, tampaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab. Sebut saja telaah berjudul Memandang Bangsa dari Kota: Telaah atas Cala Ibi (Nukila Amal dan Jangan Main-main dengan kelaminmu (Djenar Maesa Ayu). Penulisnya, Manneke Budiman, tampaknya berhasil membongkar teks-teks kota dalam kedua karya sastra tersebut.
Dari telaah yang dilakukan tersebut, tampak bagaimana sikap para sastrawan terhadap penanda dunia kontemporer, termasuk menemukan makna dirinya dalam persoalan-persoalan khas kota besar. Mereka tidak hanya mengkritik sekaligus berdamai dengan tawaran kenikmatan kota, tetapi juga melihatnya sebagai simtom keterbelahan bangsa. Kota hanya sesuatu yang terus mempercantik diri tanpa pernah dapat memberikan arti pada bangsa. Di sini Manneke berusaha memperlihatkan bahwa karya sastra Indonesia mutakhir memang masih mempersoalkan hiruk pikuk kota yang dianggap selalu berkecederungan memiliki persoalan dengan masalah moral.
Tidak hanya itu, pada bagian kedua ini seperti ingin diperlihatkan bahwa sastra mutakhir pun masih berbicara soal spiritualitas Tulisan yang menyebutkan hal ini adalah Religiusitas dan Erotika dalam sajak-sajak acep Zamzam Noor yang ditulis oleh Tia Setiadi. Dalam tulisan ini Tia Setiadi berhasil mengidentifikasi bahwa sajak-sajak Acep Zamzam Noor banyak berbicara soal Tuhan dan relasinya dengan aku-lirik. Namun di saat yang bersamaan Acep juga bicara soal erotika dan kekagumannya kepadaperempuan.

Sepintas hal ini tampak bertentangan. Namun dengan argumentasinya, Tia ingin mengatakan bahwa reiljiusitas dan erotika adalah dua hal yang memiliki keterkaitan dan pararelisme yang erat (hal.478). Dengan mendasarkan gagasannya pada pemikiran George Bataille--seorang penulis Prancis--,Tia setiadi melihat bahwa pengalaman erotika memiliki kesamaan dengan penyatuan dengan sesuatu yang bersifat ilahi ataupun mistik. Perbedaannya adalah, dalam erotika kedua insan harus berubah dan sama-sama bertindak untuk saling meluruhkan diri menjadi satu, sedangkan dalam momen mistik hanya mengisyaratkan subjek hanya dalam keadaan hening-bening dan sunyi (hal. 479). Apa yang disampaikan oleh Tia Setiadi ini dapat dikatakan, merupakan pemakanaan baru dari saja-sajak Acep Zamzam Noor.

Pendek kata, telaah atau kritik yang ada pada buku ini memang menawarkan kebaruan dalam pemaknaan karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa para kritikusnya memiliki kapsitas yang memadai untuk melakukan sebuah kritik. Namun tentu saja kritik yang dilakukan tidak bersifat final, sebab karya sastra adalah teks terbuka yang masih dapat dimaknai secara terus menerus sesuai konteksnya.

Meskipun begitu, terbitnya buku ini patut dihargai karena dengan cara ini dunia kritik sastra Indonesia akan lebih kaya. Terlebih dari itu, usaha penerbitan kritik sastra dengan melewati mekanisme penjurian seperti yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta akan membuat kritik sastra yang dilakukan akan lebih bermartabat. ***

No comments:

Post a Comment