Monday, December 27, 2010

Yuk Kita Terus Membudayakan Sains

Meskipun masalah popularisasi atau pembudayaan sains menghinggapi juga negara maju, rasanya di Indonesia berkecamuk situasi yang lebih serius (selanjutnya dalam tulisan ini, makna sains mencakup juga teknologi). Misalnya buku sains, yang populer atau yang teknis, masih langka di toko buku, kalaupun ada kalah jauh larisnya dari buku tentang jalan pintas sukses meraih uang. Topik pembicaraan sehari-hari yang menyerempet sains diduga keras tidak ada artinya jika dibandingkan dengan gunjingan ataupun gemebyar televisi dan majalah yang meliput selebriti.
Perubahan

Ketika sains belum menjadi acuan dalam diskusi tentang banyak peristiwa, belum secara luas diangkat sebagai target prestasi dan reputasi, dapat dikatakan sains merupakan budaya yang masih asing bagi kebanyakan kita. Eropa telah berhasil mengadopsinya sebagai kebudayaan baru lewat Renaissance. Sebagai sebabnya, di samping pengaruh agama yang disinggung di atas, niscaya karena hadirnya faktor-faktor lain yang mendukung, memfasilitasi, atau “memaksa” perubahan itu. Sebut saja contohnya iklim.

Musim dingin tidak sekadar membuat terampun-ampun mereka yang pertama kali mengalami, tetapi juga sangat berpengaruh pada kehidupan setempat. Ketika tanaman sumber nutrisi tidak tumbuh gara-gara udara kelewat dingin, penduduk dipaksa bersiap dan berencana beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya. Dipaksa memutar akal agar semua sistem tetap berfungsi, mulai dari jaringan air bersih sampai transportasi dengan pelumas yang berpotensi beku dan mekanik yang bisa terkunci karena menyusut. Taruhannya bukan sekadar kenyamanan, tetapi kelangsungan eksistensi mereka.



Sains menawarkan metode untuk menemukan solusi bagi persoalan-persoalan di atas, sehingga tumbuh dan maraklah bidang tersebut di sana. Untuk menguatkan pengamatan dan hipotesis ini, dapat dihitung berapa negara di sekitar katulistiwa yang kemajuan sainsnya sanggup mengimbangi negara-negara kawasan empat musim.

Bukan maksudnya untuk mensahkan kondisi kita yang tidak beriklim dingin sebagai takdir penghambat pembaharuan budaya. Yang diinginkan hanya agar kita tidak lupa pada kompleksnya medan yang dihadapi, seperti kompleks dan tidak mudahnya setiap upaya membangun kebudayaan baru. Dalam kaitan ini penulisan ilmiah populer menjadi bagian penting dari program besar pembudayaan, yang niscaya akan dilengkapi dengan gagasan dan jurus lain berdasarkan pemahaman atas peta yang dihadapi.

Teknologi Tinggi

Ketika bergiat sebagai “ilmuwan laboratorium” untuk menghasilkan karya memenuhi kebutuhan suatu industri, seorang rekan memerlukan terjun ke pabrik bersangkutan guna membantu mereka mengidentifikasi persoalan, yang sebenarnya sudah mereka hadapi sehari-hari. Kemudian terjun pula untuk membantu agar hasilnya diaplikasikan dengan semestinya. Barangkali aktivitas ini sejatinya bukan tugas ilmuwan laboratorium. Tetapi akan tidak tuntas jadinya apabila pemikiran dan karya sains tidak terlaksana dalam wujud seperti yang diharapkan.

Analog dengan pengalaman ini, tetapi pada tingkat yang lebih tinggi dan skala yang lebih luas, motivasi seorang Habibie untuk memimpin sendiri industri teknologi tinggi kiranya dapat dipahami. Paling kurang agar prestasi para ilmuwan tidak berhenti pada laporan dan publikasi, tetapi terus terekspresikan sebagai produk nyata karena telah dilicinkan alur pendanaannya, dilapangkan jaringan penyediaan bahan dan distribusi hasilnya, difasilitasi segenap gagasannya.

Secara umum memang besar beban pada banyak ilmuwan kita. Sudah harus bekerja dan berpikir keras dalam bidangnya, harus memutar akal pula buat urusan yang bukan spesialisasinya. Adapun alasannya dapat diwakili dengan pertanyaan: Mana ada yang akan mengapresiasi karya jika budaya sains masyarakat belum (di-)siap(-kan) ?

Namun untuk kontribusi pada pembudayaan, tentu tidak semua bisa segala. Ada yang mampu dan merasa asyik melahirkan naskah populer dari pena atau papan ketiknya. Ada yang piawai untuk secara persuasif mengajak orang menganut sikap yang baru. Ada yang jeli memilih topik riset dan pandai meyakinkan khalayak sehingga hasil risetnya dikenal, diobrolkan dan dijadikan acuan. Dan lain sebagainya.

Apapun yang dilakukan, yang diharapkan sesungguhnya hanya penerapan sebuah kebiasaan ilmuwan untuk tetap bandel beringsut maju, meskipun mungkin baru mengalami kebuntuan dalam sebagian penelitiannya. Tidak menyerah tapi kembali segar dengan berbagai akal di saat pagi, apalagi di saat tahun berganti.

No comments:

Post a Comment