Banyak keluhan bahwa ilmuwan tidak membumi, atau bahkan tidak peduli tentang aktifitas sosial keseharian. Lebih dari itu, bahkan ada pula yang menuding bahwa banyak ilmuwan tidak rela berbagi ilmunya dengan masyarakat awam di sekitarnya. Apa betul demikian? Jika ya, mengapa mayoritas ilmuwan bersikap begitu? Saya coba memberikan sudut pandang lain, untuk merespon dua artikel sebelumnya yang ditampilkan Merry Magdalena [1] dan Arli Aditya Parikesit [2].
Ilmuwan dan Detektif
Untuk menjelaskan kepada masyarakat awam mengenai lika-liku profesi ilmuwan, salah satu analogi yang mudah dicerna orang awam adalah dengan meminjam profesi lainnya: detektif. Tentu semua orang sudah merasa paham apa pekerjaan seorang detektif. Tujuan utama dalam penyelidikan yang dijalankan adalah untuk memecahkan sebuah misteri, di mana terdapat beberapa jawaban yang semula tampak memungkinkan. Untuk mencapai tujuannya, detektif yang baik harus bisa menyusun teori awal mengenai apa yang paling mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan yang ingin dijawabnya. Kemudian ia harus dengan teliti mencari semua petunjuk, kemudian menggunakan hasilnya untuk secara sistematis menyisihkan jawaban-jawaban yang tidak memenuhi teorinya. Kadangkala, ternyata petunjuk yang diperoleh justru menyatakan bahwa teori awalan yang ia pakai keliru, sehingga teori itu perlu direvisi dan diuji ulang. Pengujian teori ini dilakukan misalnya dengan usaha menjebak seorang tersangka untuk memberikan petunjuk lanjutan atau bahkan mengakui tindak kejahatan yang dilakukannya. Yang tidak kalah pentingnya, detektif yang berkualitas harus jeli dan cepat dalam bergerak, jika ia tidak ingin didahului oleh pihak lain yang juga berkutat di misteri yang sama.
Nah, sebetulnya deskripsi yang dipakai untuk menggambarkan pekerjaan detektif tadi juga berlaku untuk profesi ilmuwan. Mari kita tengok bersama-sama. Ketika disodori sebuah fenomena atau masalah yang aneh, maka seorang ilmuwan (saintis maupun insinyur) yang berkualitas harus mampu memulai pekerjaannya dengan menyusun teori awalan: apa saja kira-kira hal yang mampu menjelaskan fenomena tersebut. Petunjuk pun harus dilacak. Pertama, dengan cara meneliti apa saja yang sudah dikerjakan oleh para ilmuwan pendahulu dan relevan dengan masalah yang dihadapi. Kedua, dengan merancang berbagai pengujian, sedemikian sehingga beberapa alternatif solusi dapat disingkirkan karena ternyata tidak sejalan dengan masalah yang diselidiki. Terkadang pula teori awalan yang digunakan terbukti tidak benar, sehingga teori baru perlu disusun dan pengujian perlu diulang. Dan yang juga penting, penyelidikan ini perlu dilakukan dengan cepat dan jeli, karena jika tidak maka ilmuwan lain yang lebih dulu menemukan jawaban masalah tadi kemudian mempublikasikan hasilnya. Jika ini terjadi, maka jerih payah yang dirintis selama ini tidak lagi bisa dipublikasikan karena memang tidak lagi menyumbangkan pengetahuan yang baru untuk dunia.
Berbagi Ilmu, Mengapa Susah Dilakukan?
Setelah melihat analogi di atas, kita bisa kembali ke dua pertanyaan kita: mengapa mayoritas ilmuwan cenderung tampak tidak peduli dengan sosial keseharian? Dan mengapa mereka bahkan seperti tidak mau membagi hasil penelitian dengan masyarakat di sekitarnya?
Kegiatan penyelidikan selalu memakan waktu yang tidak sedikit serta menyita perhatian yang penuh. Ini berlaku baik untuk seorang detektif maupun seorang ilmuwan. Karena curahan penuh dan dedikasi yang diberikan demi memecahkan masalah yang dihadapi tadi, maka banyak ilmuwan yang kemudian merasa keasyikan dan lupa bahwa sebetulnya masih ada banyak aspek dalam sebuah kehidupan selain penyelidikan yang dijalaninya. Hal ini bisa menjawab pertanyaan yang pertama, walaupun tentu tidak dapat digeneralisasi untuk semua kasus ilmuwan.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua terkait dengan salah satu tuntutan kerja yang saya kisahkan di atas: penyelidikan yang dikerjakan harus dikerjakan dengan cukup cepat, agar tidak didahului oleh pihak lain (untuk detektif: agar tidak didului pelaku kriminal yang ingin menghapus jejak; untuk ilmuwan: agar hasil penyelidikannya dapat dipublikasikan tanpa didului oleh ilmuwan lainnya). Karena itu, walaupun seorang ilmuwan pasti senang jika hasil penyelidikannya dapat bermanfaat untuk orang banyak di sekitarnya (bahkan, hal ini pun akan menambah kepercayaan diri dan semangat kerja ilmuwan yang bersangkutan), tentu ia ingin agar hasil tersebut dapat lebih dulu ia publikasikan atas namanya.
Apa Tujuan Publikasi?
Setelah membaca paragraf terakhir di atas, kebanyakan orang mungkin lantas bertanya-tanya: bukankah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian itu berhak untuk diketahui dan diakses oleh setiap orang? Kalau begitu, mengapa para ilmuwan perlu berlomba-lomba dalam menyelidiki dan mempublikasikan hasil yang didapat?
Dalam dunia yang ideal, memang tampaknya indah sekali jika hal ini terjadi. Tapi dalam dunia nyata, setiap manusia punya kecenderungan untuk tidak berprestasi dengan maksimal. Untuk mengatasi ini, maka komunitas manusia merancang sistem yang memberikan penghargaan lebih kepada manusia yang lebih berprestasi. Demikian pula yang terjadi di dunia ilmuwan. Alhasil, para ilmuwan perlu berlomba-lomba dalam bekerja dan menghasilkan publikasi. Efek positifnya adalah para ilmuwan terpacu bekerja sebaik mungkin, sedangkan efek negatifnya adalah melambatnya penyebaran ilmu pengetahuan hasil penyelidikan tadi.
Berkaitan dengan fenomena publikasi ini, sebuah proposisi pun terlahir: Sesungguhnya para ilmuwan mempublikasi makalah ilmiah mereka selalu dengan dua niat: (1) untuk memamerkan hasil kerja mereka kepada dunia, dengan cara mengklaim hasil penyelidikan yang didapat atas namanya (niat berbasis liberalisme), dan (2) untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada di pundak mereka (niat berbasis sosialisme) [3].
Arogansi atau Spesialisasi?
Satu masalah lain yang belum dibahas di atas adalah tudingan mengenai arogansi para ilmuwan terhadap komunitas di sekitarnya. Misalnya, ketika diminta untuk menghasilkan tulisan ilmiah populer yang berkaitan dengan bidang penyelidikannya, sebagian ilmuwan berujar bahwa memang bukan itu keahlian dan spesialisasinya. Respon seperti ini tidak tepat untuk dianggap sebagai pertanda arogansi, melainkan justru sebagai lambang kehati-hatian dan kesadaran tanggung jawab. Analoginya, dalam sebuah pertandingan sepakbola, seorang kiper umumnya tidak akan mau jika diminta ikut berdiri di dekat gawang lawan untuk mencoba mencetak gol. Bukan karena ia arogan dan merasa bahwa ia terlalu sibuk dengan bidangnya sendiri, tapi memang karena jika ia melakukannya maka hasilnya justru akan malah tidak baik.
Singkatnya, dengan artikel ini saya berusaha memberikan sudut pandang lain dari permasalah ilmuwan yang dituding tidak dapat membumi. Sudut pandang lainnya saya nantikan pula, karena itu akan dapat memperkaya wawasan kita semua.
No comments:
Post a Comment