Tuesday, June 29, 2010

Arti Kurikulum Part 1; Bias Sebuah Regulasi

Karangsambung, The Lost World

ARTI KURIKULUM

Part 1

BIAS SEBUAH REGULASI



Oleh: Kiftirul ‘Aziz



"Salam bapak!

Share saja ya pak; hanya sebuah wacana dari apa yang kebanyakan orang sebut sebagai "barisan idealis". Sebelum saya berbicara, saya akan menanggalkan atribut saya sebagai, (1) guru yang belum terlegitimasi, (2) guru yang belum mempunyai jam terbang puluhan tahun, dan (3) guru yang tidak dianggap sebagai guru oleh orang yang melihatnya sebelah mata.

Point of view dari pembicaraan saya adalah tanda tanya besar dari dalam diri saya yang memunculkan sederet pertanyaan yang dilematis, di mana pertanyaan tersebut, hanya bapak yang saya anggap pantas untuk menjawabnya. Pertanyaannya yaitu, (1) bapak sebagai stake holder; mana yang akan bapak pilih; ketika ada sebuah regulasi yang dijadikan sebagai acuan nasional, bapak sebagai pelaksana regulasi mengikuti regulasi tersebut? ataukah regulasi tersebut yang "berkewajiban" mengikuti bapak? (2) bapak sebagai stake holder; manakah yang akan bapak pilih –ketika berhadapan dengan sebuah regulasi– berpikir rasional atau berpikir irasional?

Jawabannya yang ilmiah ya pak, karena saya akan banyak belajar dari jawaban bapak.

Salam!"



Sepenggal pesan yang terlihat artificial; hanya saja, tidak terlalu urgent untuk membahas apakah pesan tersebut menggambarkan hal yang senyatanya ataukah hal yang tidak pernah ada; jauh lebih penting jika kita bisa melihat makna di balik pesan singkat di atas.

Tergambar secara implisit kekecewaan penulis pesan di atas dengan keadaan yang ia hadapi. Bahasan yang sensitif dan penuh alternatif pilihan jawaban disajikan penulis pesan tersebut.

Bagian pertama mengandung pertanyaan, bagaimana sikap responden terhadap artikulasi sebuah tujuan?

Menyitir pendapat David McNally (dalam Rose Colin, 2002: 116) bahwa ada jaminan untuk tidak sampai pada tujuan yang tidak pernah ditetapkan. Tujuan merupakan standar yang dijadikan motivasi oleh si penentu tujuan untuk tolok ukur keberhasilan yang bersangkutan. Standar merupakan acuan minimal pencapaian sebuah tujuan; oleh karenanya, serendah apapun sebuah standar, ia diperlukan, karena ia berperan sebagai patokan sekaligus pemicu untuk mencapai aktivitas hidup (Depdiknas Badan Litbang Pusat Penelitian Pendidikan, 2003: 4). Bagaimana pencapaian itu akan tercapai apabila tujuan yang dijadikan sebagai standar itu sendiri masih dihinggapi keadaan yang dilematis antara mengikuti dan diikuti? Sebagaimana pendapat Cohen (dalam Kerlinger, 2006: 26) tanpa adanya gagasan pemandu dengan kata lain, sebuah standar, kita akan kesulitan fakta mana yang perlu dihimpun, dan pada gilirannya nanti kita tidak dapat menetapkan apa yang relevan dan apa yang tidak relevan.

Bagian kedua memaksa responden untuk memperlihatkan persepsi yang digunakan responden dalam penyikapan sebuah regulasi.

Berdasarkan definisi lazim, rasional merupakan pemikiran menurut akal sehat/nalar; sedangkan irasional adalah tidak berdasarkan akal/penalaran yang sehat. Dapat dikatakan bahwa orang rasional merupakan orang yang mempunyai akal yang sehat dan orang irasional adalah seseorang yang mempunyai akal tidak sehat (gila).

Batasan dari keduanya merupakan hal yang nisbi. Hanya saja, akan beda cerita ketika keduanya terletak dalam sebuah sistem yang sama. Sistem dengan dasar yang jelas dan bertanggungjawab.

Dalam proses perjalanannya, sebuah sistem merupakan bingkaian yang mempunyai patokan/acuan berbentuk konsensus yang terlegitimasi (regulasi). Regulasi tersebut menjamin pelaku dalam sistem tidak keluar dari rel yang telah ditetapkan. Regulasi juga memantapkan jalannya sistem yang bersangkutan. Tanpa adanya regulasi, semua terlihat relatif, akhirnya bermuara ke fleksibilitas, dan tenggelam dalam utopia.

Apapun bentuk dari sebuah regulasi, ia muncul dari pikiran yang rasional. Proses pencapaian sebuah regulasi akan melalui banyak pertimbangan yang ditinjau dari sisi positif dan negatif. Adanya proses yang penuh dengan pertimbangan tersebut memperlihatkan betapa rasionalnya pengambil regulasi yang bersangkutan.

Yang menjadi permasalahan, ketika regulasi dilanggar oleh pikiran yang tidak sehat/irasional/gila. Ketidakpuasan –perlu bukti untuk menuliskan “ketidakmampuan”– dalam menjalani regulasi akan memunculkan pola yang berbeda dalam menyikapi suatu regulasi. Penyikapan yang berbeda melegitimasi diri dengan kedok fleksibilitas dan memelintir regulasi dengan dalih ketidakpuasan –perlu bukti untuk menuliskan “ketidakmampuan”– dalam menjalani regulasi. Sikap demikian menunjukkan cara berpikir yang irasional.

Sekalipun keduanya mempunyai sudut pandang yang berbeda, akan tetapi mereka berada dalam kapal yang sama bernama “regulasi”. Masing-masing mempunyai argumentasi sendiri untuk mempertahankan pendapatnya. Hanya saja, Kerlinger (2006: 18) menyatakan bahwa pendapat atau keyakinan subjektif harus diperiksa dengan menghadapkannya pada realitas obyektif.

Bagian terakhir merupakan bagian yang menjadi harapan penulis pesan yang bersangkutan, “Jawabannya yang ilmiah ya pak, karena saya akan banyak belajar dari jawaban bapak.”

Pada hakikatnya, ilmu adalah pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya melalui metode ilmiah. Sehubungan dengan hal tersebut, kebenaran yang telah teruji dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang tidak hanya berdasarkan rasio atau kemampuan otak, bisa disebut juga sebagai penalaran, akan tetapi dibuktikan pula secara empiris. Berpikir ilmiah mengarahkan kita kepada metode ilmiah, yakni metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.

Braithwaite (dalam Kerlinger, 2006: 13) menyatakan bahwa fungsi dari ilmu pengetahuan adalah menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek yang dikaji oleh ilmu yang bersangkutan. Hukum yang ditetapkan tersebut melalui teori yang telah dibuktikan kebenarannya. Tanpa teori yang telah diuji, hanya akan ada pengetahuan mengenai fakta saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Dengan tidak adanya ilmu pengetahuan, hukum yang ditetapkan akan rapuh dan mudah goyah.

Ilmu pengetahuan dilahirkan dari metode ilmiah, di mana hasil dari proses metode ilmiah dapat dibuktikan secara teoritis dan empiris.

Akhirnya, mengubah kebiasan yang turun temurun memang teramat sulit. Namun, sudah saatnya untuk selalu menyatakan sesuatu atas dasar berpikir rasional, bukan atas dasar kebiasaan dengan tidak mengerti asal-usulnya. Tanpa mengetahui asal-usul mengapa hal tersebut dilakukan, statement tersebut merupakan hal yang omong kosong.

Salam!

No comments:

Post a Comment