Berasal dari kata fatwa(jamak) serta fatawa yang artinya petuah, nasihat, jawaban dan pertanyaan hukum. Fatwa berarti pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Dengan kata lain, si peminta fatwa, baik perorangan, lembaga maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum dari fatwa yang diberikan kepadanya.
Hal ini disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan terbaru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal fatwa itu responsif.
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang juga merujuk pada profesi memberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa berupa perorangan, lembaga maupun siapa asja yang membutuhkannya.
Pada dasarnya, futya adalah profesi independen, namun di banyak negara Muslim menjadi terkait dengan ootoritas kenegaraan dalam berbagai cara. Dalam sejarah Islam, dari abad pertama sampai ketujuh Hijriyah, negaralah yang mengangkat ulama yang bermutu sebagai mufti.
Namun pada masa-masa selanjutnya, pos-pos resmi dari futya diciptakan, sehingga mufti menjadi jabatan kenegaraan yang hierarkis, namun tetap dalam fungsi keagamaan. Pada tempat dan periode tertentu, seperti pada masa Kerajaan Ottoman, fungsi mufti dikombinasikan dengan hakim dan pemegang jabatan ini seringkali dilarang memberikan fatwa sehubungan dengan tindakan hukum yang terjadi di pengadilannya.
Fungsi kenegaraan yang dibebankan futya tidak menghilangkan pelaksanaan profesi itu secara pribadi. Akan tetapi dengan penerapan kitab-kitab undang-undang tertentu dengan segala perlengkapannya yang diambil dari sistem perundang-undangan Eropa, maka profesi futya di banyak negara Islam hampir tidak terpakai lagi.
Persyaratan yang diperlukan untuk melaksanakan profesi ini adalah; beragama Islam, memiliki integritas pribadi ('adil) dan ahli ijtihad (mujtahid) atau memiliki kesanggupan untuk memecahkan masalah melalui penalaran pribadi. Berbeda dengan seorang hakim, seorang mufti bisa saja wanita, orang buta atau orang bisu, kecuali untuk jabatan kenegaraan.
Keperluan akan fatwa ini sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan semakin meningkatnya jumlah pemeluk Islam dan semakin meluasnya wilayah Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan bantuan dari orang-orang yang berkompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang kompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya, praktik fatwa diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa-fatwa ulama tersebut. Pengumpulan fatwa menjadi sebuah kitab baru muncul pada abad ke 12.
yus/taq/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
No comments:
Post a Comment