Kematian Osama Bin Laden, Umar Patek, Imam Samudera, dan tokoh-tokoh radikal lainnya disikapi beragam oleh masyarakat Indonesia (mungkin juga masyarakat dunia). Ada yang bersyukur, ada yang bersedih, ada juga yang menunjukkan reaksi ketakutan. Mereka yang bersyukur, melihat kematian para tokoh tersebut sebagai proses akhir radikalisme agama,dan berharap ada proses baru ‘pensucian’ nilai-nilai kedamaian dalam Islam. Mereka yang bersedih, melihat kematian tersebut sebagai
kematian seorang pahlawan yang berani melawan hegemoni Amerika.Reaksi keras terhadap prosesi pepenenggelaman jenazah Osama, menyemutnya massa pada pemakaman Imam Samudera, dan lainnya membuat heran kelompok pertama yang saya sebutkan tadi. Sedangkan kelompok terakhir, dihantui ketakutan akan isu balas dendam dari pengikut para
tokoh yang sering diklaim teroris itu.
Hal sama juga terjadi dalam prosesi sidang pengadilan para tokoh garis keras di Indonesia. Sidang Abu Bakar Ba’asyir, sidang Habib Rizieq, juga sidang Cikeusik adalah contoh kecil yang kita saksikan. Puluhan bahkan ratusan massa selalu ramai mengawal sidang-sidang tersebut. Dalam sidang Cikeusik ke dua pada Selasa (2/5) lalu saya berkesempatan ‘ngobrol’ dengan beberapa orang yang setia mengawal sidang tersebut.
Termasuk dengan anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) yang juga setia mengawal para terdakwa kasus-kasus kekerasan atasnama agama itu. Mereka yang datang pada sidang Cikeusik yang digelar di Pengadilan Serang itu mayoritas adalah para santri dari daerah selatan Banten. Wilayah yang cukup jauh dari Kota Serang. Kebanyakan berseragam koko, dan sarung. Di saku koko mereka tertera nama-nama kelompok pengajian tertentu. Bahkan dalam sidang pertama kasus ini, ada juga yang
berseragam Jamaah Ansharut Tauhid. Sayang tak sempat ditanya dari mana mereka berasal. Para Pembela yang hadir juga datang dari berbagai daerah di Nusantara, bahkan konon ada yang dari Kalimantan.
Jaringan TPM memang telah ada di hampir semua daerah di Nusantara. Kita tahu, para santri dan pengacara itu datang bukan tanpa biaya. Dan saya yang juga pernah merasakan pendidikan pesantren juga tahu sebatas mana akomodasi yang dimiliki seorang santri. Seorang kawan yang kebetulan ikut membantu TPM, ketika ditanya tentang sumber akomodasi yang mereka peroleh, dengan meyakinkan berkata, “ Ini lillahi ta’ala bro. Demi membela aqidah. Yang menanggung akomodasinya TPM Serang. Kalo sumber dananya, saya tak tahu,” ujarnya, seraya mengungkap, bahwa ia kini bertugas di Jakarta.
Ya aku paham, solidaritas keimanan kadang mengabaikan beban-beban materil. Ada doktrin sedekah dan pengorbanan demi agama, yang membuat beban akomodasi dan transportasi
menjadi ringan. Solidaritas keimanan pulalah yang membuat seorang temanku di
Karawang,sempat rela menyedekahkan sebagian uang kuliahnya kepada seorang mentor yang merekrutnya ke sebuah jaringan yang ia bilang mirip NII. “Saya dan beberapa teman mahasiswa baru di IAIN Bandung waktu itu dibawa ke Sukabumi untuk diberi pengarahan dan motivasi
keislaman. Kemudian secara berkala sang mentor mengirim sms pada kami
untuk menagih sedekah bulanan. Waktu itu saya tertarik , karena mentor saya adalah seorang motivator muda terkenal di Bandung,” ujar seorang kawan mengisahkan pengalamannya saat awal masa kuliah di tahun 2001-an lalu. Sedekah sebagi bukti solidaritas keimanan lagi-lagi berperan di sini.
Seorang saudara saya yang menjadi anggota sebuah jamaah thariqah di Pantura Jawa Barat juga begitu giat mencari sedekah kepada koleganya untuk kelangsungan pesntren dan jamaah Thariqahnya. Saya kerap dimintainya, untuk zakat, sedekah, untuk pembangunan masjid, pesantren
atau lainnya. Yang kesemuanya itu berlokasi jauh dari rumah kami. Saya sempat protes kepadanya, bahwa di dekat rumah kami juga ada masjid yang butuh sumbangan, ada warga yang perlu sedekah. Kenapa tidak memprioritaskan yang dekat. Ia menjawab dengan lantang, Ya semuanya harus jalan, tapi di sana juga penting. Solidaritas keimanan membuatnya buta, bahwa di sekelilingnya ada hal yang lebih patut mendapat sedekah ketimbang harus memintai koleganya untuk bersedekah
kepada mursyidnya. Di sini solidaritas kemanusiaan diabaikan. Mereka yang jauh, yang ‘seiman’ lebih penting ketimbang tetangga atau bahkan saudara terdekat yang tidak satu kelompok dalam jaringan keimanannya. Jarak antara Palestina dan Indonesia menjadi begitu dekat, dan lebih penting untuk
diperjuangkan, ketimbang saudara sebangsa yang terkena musibah di Wasior. Mereka yang melakukan kekerasan karena ‘diprovokasi’ menjadi lebih layak dibela ketimbang mereka yang jadi korban kekerasan, hingga meregang nyawa sekalipun. Ada reduksi terhadap nilai-nilai keimanan. Sikap-sikap manusiawi, dan bantuan kemanusiaan seolah hanya berlaku bagi mereka yang ‘seiman’.
Padahal, Nabi Muhammad mengajarkan pentingnya nilai kemanusiaan. Ada hadist yang mengungkap bahwa membunuh satu nyawa adalah sama dengan membunuh seluruh nyawa manusia, dan menyelamatkan satu nyawa sebanding dengan menyelamatkan seluruh nyawa manusia. Tapi dkoktrin itu seakan tergerus dengan doktrin-doktrin lain yang menafsirkan jihad sebagai
perlawanan dan permusuhan terhadap kelompok yang berbeda.
Kepentingan Global dan Intelejen
Di luar dialektika tentang solidaritas keimanan dan kemanusiaan itu, ada teori konspirasi yang turut mewarnai ramainya wacana tentang radikalisasi agama ini. Bahwa semua ini adalah desain dari intelejen, untuk mendongkrak Rancangan Undang-Undang Intelejen. Kepentingannya adalah untuk memperluas akses dan dana bagi para intelejen, bahkan kemudian untuk mengembalikan gaya otoriter intelejen di era Orde Baru.
Intelejen di era Orde Baru memang cukup mengerikan. Tak ada kebebasan berserikat, bahkan sebuah pengajian kecil pun bisa dimata-matai dan kemudian pengajinya ditangkapi hingga dibunuh tanpa alasan. Tragedi Tanjung Priok, malaria, hingga tragedi 98 kerap ditudingkan sebagai buah dari kerja inteleijen saat itu. Ada juga yang melihat ini sebagai sebuah desain Negara Adidaya untuk
memojokkan dan mematahkan politik Islam. Sebab seperti diketahui, belakangan semakin ramai berita tentang konflik di Negara-negara muslim. Konflik-konflik yang seakan ingin menunjukkan bahwa para
penguasa muslim itu bobrok. Terlebih jika dikaitkan dengan dinamika politik Indonesia, di mana partai-partai Islam seakan ‘dibunuh’ dengan stigma-stigma negatif, dari berita-berita yang lagi-lagi terkesan
didesain untuk memojokkan kelompok tertentu.
Tesis Huntington tentang perang peradaban yang meramalkan pertarungan antara Barat versus Islam seakan menguatkan asumsi ini. Jika pun teori-teori konspirasi itu benar adanya, apakah ini semua kemudian semakin memperkuat solidaritas keimanan dan semakin mengabikan pentingnya solidaritas kemanusiaan? Membayangkannya saja, sungguh mengerikan. Kelangsungan peradaban semakin terancam dengan kondisi ini.
Di sini, saya melihat pentingnya penyebaran materi politik islam secara obyektif. Terutama tentang sejarah politik Islam. Jika teori politik Islam itu dipelajarai secara obyektif, maka yang muncul adalah
semangat akan pentingnya penanaman ajaran-ajaran Tuhan yang bersisikan nilai-nilai kemanusiaan. Ada empat doktrin politik terkenal dalam Islam (khususnya kelompok Sunni), yakni sikap tawassuth (moderat) tasammuh (toleran), tawazun (seimbang), dan ta’aadul (menjunjung keadilan). Empat sikap inilah yang seharusnya melandasi sikap politik setiap muslim.
sumber : http://malikmughni.multiply.com
No comments:
Post a Comment