Karangsambung, The Lost World
ARTI KURIKULUM
Part 2
SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA
Oleh: Kiftirul ‘Aziz
ARTI KURIKULUM
Part 2
SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA
Oleh: Kiftirul ‘Aziz
“Ketika membuat soal tes, mbok ya menyesuaikan dengan kemampuan siswanya. Meskipun kompetensi dasarnya berbunyi seperti itu, kita harus melihat kondisi kita,” kata seorang stake holder dari negeri Atas Angin.
“Sebenarnya soal UKK bisa dirubah oleh guru kelasnya apabila guru yang bersangkutan merasa tidak mengajarkan materi dalam soal tersebut dan ini diatur oleh undang-undang,” timpal stake holder yang lain.
Dianalogikan sebuah advokasi, dialog yang terjadi antara stake holder dari negeri Atas Angin di atas akan mungkin menjadi begitu populer di telinga kaum yang mengedepankan aspek afektifnya. Kata Maurinho “Apa arti sepak bola atraktif apabila kalah dengan gaya sepak bola pragmatis? Kita hidup pada dunia yang haus gelar Bung, bukan dunia Jogo Bonito”. Tepat sekali pernyataan dari Maurinho, tuntutan dari dunia sepak bola saat ini adalah prestige yang diperoleh salah satunya dengan cara mendapatkan sebuah gelar. Berdasarkan pernyataan Maurinho tersebut, kita dapat mengajukan sebuah proposisi bahwa warga negara Atas Angin – dalam konteks ini – banyak menggunakan perasaan untuk menyikapi permasalahan yang terjadi. Wajar saja, tuntutan negeri Atas Angin bukanlah sebuah pelaksanaan aturan yang murni dan konsekuen, tapi pelaksanaan aturan berdasarkan perasaan.
Tanpa kita sadari, dalam proses belajar mengajar – diakui ataupun tidak – selalu ada tuntutan yang dimanifestasikan dalam bentuk perangkat mata pelajaran yang diajarkan atau lazim dengan sebutan kurikulum. Tujuan dari proses belajar mengajar itu sendiri mengenai apa yang harus dikuasai oleh anak, di mana tujuan tersebut dijadikan sebagai standar dan ditetapkan dalam kurikulum. Dengan aturan tertulis semacam itu, hendaknya setiap pihak memahami – bagi yang memahami – bahwa sebuah aturan bukan hanya digunakan sebagai pelengkap administrasi. Lebih jauh dari itu, aturan tersebut dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Bukan rahasia lagi apabila KTSP memberikan keleluasaan bagi setiap tingkat satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang digunakan berdasarkan standar isi yang dibuat oleh BNSP (Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006, Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3). Mengembangkan di sini dapat diartikan menaikkan standar setingkat atau mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari standar terendah (penulis belum mengetahui ada arti lain dari kata “mengembangkan” selain yang penulis sebutkan). Kurikulum tersebut digunakan sebagai dasar atau acuan untuk melaksanakan proses pembelajaran, yang pada gilirannya nanti dijadikan sebagai landasan pembuatan blue print – memuat ranah kognitif, afektif, dan psikomotor – sebelum mencapai hasil akhir dengan wujud instrumen soal.
Permasalahan akan muncul apabila dalam satu sistem terbentuk diskrepansi antara si pembuat soal dengan pengampu materi. Satu sisi si pembuat soal merasa sudah menggunakan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi lain pengampu materi juga sudah memberikan materi berasarkan acuan kurikulum. Dalam hal ini perlu kajian yang lebih serius bagaimana bisa terjadi permasalahan tersebut. Yang wajib dipastikan, kajian tersebut haruslah bersifat ilmiah, agar diskrepansi yang menjadi permasalahan dapat melegakan semua pihak dan tidak menjadi omong kosong belaka.
Pertanyaannya sekarang, apa yang terjadi apabila “tuntutan” yang syah secara hukum – dalam konteks ini adalah kurikulum – dipaksa dengan alasan perasaan untuk mengikuti pelaku dari tuntutan yang bersangkutan?
Pertanyaan kedua, apabila sebuah soal mewakili materi yang belum pernah diajarkan oleh guru pengampu, mana yang harus diremidiasi? Guru pembuat soal ataukah guru yang mengajarkan materi? Sedangkan keduanya berada pada satu batasan payung kurikulum dan satu bendera aturan yang syah. Mungkin salah satu? Atau malah kedua-duanya?
Kesimpangsiuran jawaban dari kedua pertanyaan di atas mengarahkan kita kepada arti sebuah kurikulum sebagai acuan dasar dalam proses belajar mengajar. Hendaknya kita menyadari bersama sehingga kurikulum tersebut tidak hanya menjadi sebuah nama dan sebuah cerita.
Salam!
“Sebenarnya soal UKK bisa dirubah oleh guru kelasnya apabila guru yang bersangkutan merasa tidak mengajarkan materi dalam soal tersebut dan ini diatur oleh undang-undang,” timpal stake holder yang lain.
Dianalogikan sebuah advokasi, dialog yang terjadi antara stake holder dari negeri Atas Angin di atas akan mungkin menjadi begitu populer di telinga kaum yang mengedepankan aspek afektifnya. Kata Maurinho “Apa arti sepak bola atraktif apabila kalah dengan gaya sepak bola pragmatis? Kita hidup pada dunia yang haus gelar Bung, bukan dunia Jogo Bonito”. Tepat sekali pernyataan dari Maurinho, tuntutan dari dunia sepak bola saat ini adalah prestige yang diperoleh salah satunya dengan cara mendapatkan sebuah gelar. Berdasarkan pernyataan Maurinho tersebut, kita dapat mengajukan sebuah proposisi bahwa warga negara Atas Angin – dalam konteks ini – banyak menggunakan perasaan untuk menyikapi permasalahan yang terjadi. Wajar saja, tuntutan negeri Atas Angin bukanlah sebuah pelaksanaan aturan yang murni dan konsekuen, tapi pelaksanaan aturan berdasarkan perasaan.
Tanpa kita sadari, dalam proses belajar mengajar – diakui ataupun tidak – selalu ada tuntutan yang dimanifestasikan dalam bentuk perangkat mata pelajaran yang diajarkan atau lazim dengan sebutan kurikulum. Tujuan dari proses belajar mengajar itu sendiri mengenai apa yang harus dikuasai oleh anak, di mana tujuan tersebut dijadikan sebagai standar dan ditetapkan dalam kurikulum. Dengan aturan tertulis semacam itu, hendaknya setiap pihak memahami – bagi yang memahami – bahwa sebuah aturan bukan hanya digunakan sebagai pelengkap administrasi. Lebih jauh dari itu, aturan tersebut dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Bukan rahasia lagi apabila KTSP memberikan keleluasaan bagi setiap tingkat satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang digunakan berdasarkan standar isi yang dibuat oleh BNSP (Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006, Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3). Mengembangkan di sini dapat diartikan menaikkan standar setingkat atau mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari standar terendah (penulis belum mengetahui ada arti lain dari kata “mengembangkan” selain yang penulis sebutkan). Kurikulum tersebut digunakan sebagai dasar atau acuan untuk melaksanakan proses pembelajaran, yang pada gilirannya nanti dijadikan sebagai landasan pembuatan blue print – memuat ranah kognitif, afektif, dan psikomotor – sebelum mencapai hasil akhir dengan wujud instrumen soal.
Permasalahan akan muncul apabila dalam satu sistem terbentuk diskrepansi antara si pembuat soal dengan pengampu materi. Satu sisi si pembuat soal merasa sudah menggunakan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi lain pengampu materi juga sudah memberikan materi berasarkan acuan kurikulum. Dalam hal ini perlu kajian yang lebih serius bagaimana bisa terjadi permasalahan tersebut. Yang wajib dipastikan, kajian tersebut haruslah bersifat ilmiah, agar diskrepansi yang menjadi permasalahan dapat melegakan semua pihak dan tidak menjadi omong kosong belaka.
Pertanyaannya sekarang, apa yang terjadi apabila “tuntutan” yang syah secara hukum – dalam konteks ini adalah kurikulum – dipaksa dengan alasan perasaan untuk mengikuti pelaku dari tuntutan yang bersangkutan?
Pertanyaan kedua, apabila sebuah soal mewakili materi yang belum pernah diajarkan oleh guru pengampu, mana yang harus diremidiasi? Guru pembuat soal ataukah guru yang mengajarkan materi? Sedangkan keduanya berada pada satu batasan payung kurikulum dan satu bendera aturan yang syah. Mungkin salah satu? Atau malah kedua-duanya?
Kesimpangsiuran jawaban dari kedua pertanyaan di atas mengarahkan kita kepada arti sebuah kurikulum sebagai acuan dasar dalam proses belajar mengajar. Hendaknya kita menyadari bersama sehingga kurikulum tersebut tidak hanya menjadi sebuah nama dan sebuah cerita.
Salam!
No comments:
Post a Comment